Konflik Lahan Antara Masyarakat Adat dengan PT TJP Masih Teka Teki

TAPSEL– Polres Tapsel melakukan mediasi atau menengahi masalah lahan antara masyarakat adat Dalihan Natolu Simarboru (DNS) Kecamatan Marancar dengan pihak PT Tunas Jaya Pratama (TJP) di Aula Pratidina Mapolres, Selasa (17/5/2022).

Usai mediasi, Kapolres Tapsel AKBP Roman Smaradhana Elhaj saat dimintai tanggapan masih enggan membeberkan secara terbuka, lantaran perkaranya masih proses mediasi dan lidik. Namun perkara tersebut masih tahap penyelidikan.

“Ini baru mediasi, kan perkaranya masih di lidik. Intinya perkaranya masih dalam penyelidikan,” kata Kapolres Tapsel singkat tanpa panjang lebar.

Ketika disinggung mengenai apakah masih ada pertemuan lanjutan dalam mediasi, Kapolres menyebutkan masih ada. “Masih ada,” ucapnya.

Sementara, seorang staff PT TJP bernama Steven menyebutkan, bahwa Kapolres dengan tegas mengatakan bila ada penipuan atau memalsukan surat, Kapolres akan menindak tegas secara perdata.

“Kalau dari pihak kita berharap masalah ini diselesaikan secara musyawarah, tapi kalau memang tidak bisa, proses ini akan diselidiki,” jelasnya.

Steven mengatakan, pihaknya melaporkan oknum yang mengakui masyarakat adat DSN dikarenakan pekerja mereka terganggu dengan adanya pemblokiran jalan, bahkan mereka juga di lempar.

Ia juga menjelaskan, bahwa lahan proyek pengerjaan jalan itu, pihaknya sudah ganti rugi kepada Raja Hutasuhut.

“Kita dilarang lewat dari lahan yang sudah kita beli, wajarlah kita laporkan ke kantor polisi,” pungkasnya.

Sementara salah satu tokoh masyarakat Bulu Mario Abdul Gani Batubara mengungkapkan, permasalahan tersebut sebelumnya sempat terjadi konflik yang menimbulkan jalan pengerjaan PT TJP di blokir atau di portal oleh masyarakat adat DNS Kecamatan Marancar.

“Sempat ribut, warga blokir jalan yang di jual orang itu ke pihak perusahaan bulan yang lalu,” ujarnya.

Abdul berharap pengerjaan itu harus dihentikan karena ia mengakui bahwa itu milik masyarakat adat DNS.

“Kita berharap lahan yang mereka jual dibatalkan dan dikembalikan ke masyarakat adat DNS karena itu milik masyarakat. Kalau lah PLTA membutuhkan, diganti rugi ke masyarakat,” tegasnya.

Ia juga mengatakan, bahwa yang membeli lahan tersebut kebanyakan warga Tapanuli Utara (Taput) sekitar 12 orang. “Yang membeli lahan itu ada 12 orang kebanyakan warga Taput,” tandas Abdul.

Diperoleh informasi bahwa konflik lahan itu terjadi lantaran diduga lahan dilokasi proyek strategis nasional PLTA North Sumatera Hydro Energy (PT.NSHE) yang dikerjakan PT TJP di klaim warga sebagai pemilik adalah adat DNS Kecamatan Marancar. (JNS-Irul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *