Waduh..! Dalih Bayar Guru Honorer, SMA Negeri 1 Sidimpuan Wajibkan SPP Ke Siswa

P.SIDIMPUAN| Jelajahnews – Di Tengah Kewajiban Pendidikan Gratis, SMA Negeri 1 Padangsidimpuan Tetap Wajibkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Kepala Sekolah Bungkam Soal Dasar Hukumnya.

Alih-alih memberi kejelasan dan transparansi kepada publik, pernyataan Kepala SMA Negeri 1 Kota P.sidimpuan, Nursyawiyah Hutahuruk, justru menimbulkan lebih banyak tanda tanya terkait pungutan SPP yang diwajibkan kepada seluruh siswa di sekolah tersebut.

Dalam klarifikasinya via pesan WhatsApp, Rabu (21/05/25), Nursyawiyah bersikukuh bahwa pungutan tersebut bukan termasuk pungutan liar (pungli).

Namun, ironisnya, ia tak mampu merinci satu pun regulasi yang secara eksplisit membenarkan pemungutan SPP di sekolah negeri yang seharusnya dijamin pembiayaannya oleh negara.

“Itu bukan Pungli, karena ada regulasi yang membenarkan pungutan SPP terhadap siswa,” katanya singkat tanpa menyebut peraturan yang dimaksud.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa setiap siswa SMA Negeri 1 Padangsidimpuan diwajibkan membayar SPP sebesar Rp70.000 per bulan, dan mereka yang menunggak akan segera dihubungi oleh pihak sekolah.

Pemaksaan semacam ini jelas menyalahi prinsip sukarela dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menyebut sumbangan dari masyarakat harus bersifat sukarela dan tidak boleh menjadi syarat dalam layanan pendidikan.

Tak Menyangkal Dugaan, Tapi Minim Transparansi

Dalam pernyataannya, Nursyawiyah tidak membantah adanya laporan masyarakat ke kepolisian soal dugaan pungli di sekolah-sekolah negeri, termasuk SMA yang ia pimpin.

Ia juga mengakui bahwa para kepala sekolah telah mengikuti gelar perkara di Polres Padangsidimpuan. Namun lagi-lagi, saat diminta menjelaskan siapa saja yang hadir dan apa hasil gelar perkara tersebut, ia memilih bungkam.

“Kami sudah gelar perkara di Polres. Sudah kami jelaskan kronologisnya,” ucapnya, tanpa membuka sedikit pun isi kronologi yang ia maksud.

Kekecewaan pihak sekolah terhadap pemberitaan pun disampaikan, namun tanpa disertai langkah konkret untuk membantah substansi tuduhan.

Sebaliknya, narasi pembenaran justru bertumpu pada keberadaan daftar hadir rapat dan dokumentasi, yang belum tentu mewakili kesepakatan menyeluruh dari para wali murid.

Penegakan Hukum Setengah Hati?

Sementara itu, pihak kepolisian menyebut telah berkoordinasi dengan Inspektorat Provinsi Sumatera Utara. Namun, hingga kini belum ada audit ataupun hasil evaluasi yang dirilis secara terbuka kepada publik.

Malah, Inspektorat mengaku belum pernah melakukan pemeriksaan terhadap SMA dan SMK Negeri di Kota Padangsidimpuan.

Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa pengawasan atas pungutan di sekolah-sekolah negeri di daerah ini masih sangat lemah, sehingga membuka ruang praktik-praktik pemaksaan yang dibungkus dalam istilah “sumbangan”.

Orangtua Siswa: ‘Katanya untuk Bayar Guru Honorer’

Lima orangtua siswa yang dikonfirmasi oleh wartawan mengaku memang diminta membayar SPP tiap bulan.

Mereka menyebut uang tersebut digunakan untuk menggaji guru honorer, sebuah alasan klasik yang kerap digunakan di tengah defisit tenaga pendidik.

Namun, tak ada transparansi laporan keuangan yang disampaikan secara berkala kepada para orangtua, sehingga publik pun tak dapat menilai apakah dana yang dipungut benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.

Pendidikan Gratis Masih Jauh Panggang dari Api

Di tengah gencarnya kampanye pendidikan gratis oleh pemerintah, kasus di SMA Negeri 1 P.Sidimpuan memperlihatkan ironi yang menyakitkan, siswa tetap dipaksa membayar untuk mendapatkan haknya.

Jika pengawasan dari pemerintah provinsi dan aparat penegak hukum terus lemah, maka pungutan berkedok “sumbangan” ini akan terus membebani masyarakat tanpa adanya kepastian legalitas. (JN-Irul)