TANAH KARO – Konflik pertanahan di Puncak 2000 Siosar Desa Sukamaju Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Tanah Karo Sumatera Utara (Sumut) memasuki babak baru.
Pada Rabu (25/5/2022) lalu digelar Rapat Koordinasi Rencana Pengukuran Ulang HGU PT BUK dan Pemetaan Kawasan Hutan Puncak 2000, Siosar di Aula Pur-Pur Sage Polres Tanah Karo.
Rapat ini dihadiri Kapolres Tanah Karo, Wakil Bupati Karo, Wakil Ketua DPRD Karo, Dandim 0205/Tana Karo, mewakili Kanwil BPN Sumut, Kepala Kantor BPN Karo, mewakili Dinas Kehutanan Provsu, Kepala Wilayah KPH XV Kabanjahe, Kepala Desa Sukamaju, Kepala Desa Kacinambun, perwakilan PT Bibit Unggul Karobiotek (BUK) dan masyarakat Desa Sukamaju.
Dalam kesempatan itu, Kapolres Tanah Karo AKBP Ronny Nicolas Sidabutar menyampaikan dengan tegas bahwa upaya penyelesaian konflik pertanahan di Puncak 2000, Siosar akan dilakukan pengukuran ulang HGU PT BUK serta melakukan pemetaan kawasan hutan produksi milik negara.
Kapolres meminta PT BUK mengajukan permintaan ukur ulang HGU kepada Kanwil BPN Sumut. Namun melalui kuasa hukum PT BUK Rita Wahyuni menyatakan dengan tegas menolak dilakukan pengukuran ulang.
Menanggapi pernyataan itu, Kapolres Tanah Karo menyatakan akan tetap melakukan pencarian titik koordinat area HGU PT BUK dan area pertanian masyarakat dengan cara penyelidikan.
Sedangkan, pemetaan kawasan hutan produksi yang diklaim PT BUK sebagai pemilik seluas 241,7 Ha langsung ditanggapi Dinas Kehutanan dan bersedia bekerjasama dengan Polres Tanah Karo.
Dalam rapat ini, Dinas Kehutanan juga memaparkan bahwa tanah seluas 241,7 Ha yang di klaim PT BUK masih berada dalam kawasan hutan, termasuk gedung pasteurisasi dan gedung putih yang saat ini telah dijadikan sebuah Cafe Meriah masuk dalam kawasan hutan.
Pencarian titik koordinat areal pertanian masyarakat yang diduga masuk kedalam Peta Bidang Tanah HGU PT BUK dan pemetaan kawasan hutan produksi Puncak 2000, Siosar telah dilaksanakan pada Jumat (27/5/2022) lalu.
Pencarian titik koordinat turut dibantu BPN Karo dan KPH Wilayah XV Kabanjahe. Namun belum diketahui apakah hasilnya telah diserahkan kepada penyidik Polres Tanah Karo atau belum masih dalam upaya konfirmasi.
Terpisah, Kuasa Hukum PT Bibit Unggul Karobiotek (BUK) Rita Wahyuni saat dikonfirmasi jelajahnews.id membenarkan penolakan tersebut.
Ditanyakan, apa yang menjadi alasan penolakan (ukur ulang) oleh PT BUK, Rita mengatakan tidak bersedia diukur ulang lantaran tak diberi kesempatan berbicara oleh Kapolres Tanah Karo dalam rapat tersebut.
“Iya benar, pada awal Kapolres bertanya bersedia atau tidak, PT BUK tidak bersedia karena tidak diberi kesempatan untuk berbicara,” ujar Rita Wahyuni via WhatsApp Senin (30/5/2022).
Kemudian, melakukan pengukuran ulang HGU PT BUK dan pemetaan kawasan hutan produksi milik negara, Rita mengatakan kalau itu dipersilahkan saja, tetapi hak-hak PT BUK juga harus dihargai dan dihormati.
“Yang penting hak-hak pihak ketiga yaitu PT BUK sebagai pemilik dihormati dan dihargai, sehingga pemerintah tidak menjadi perampok yang bersembunyi dibalik Dinas Kehutanan,” tukasnya.
Disinggung, bukankah PT BUK sudah memiliki HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan kenapa harus diukur ulang?.
Rita menjawab itu dia, padahal Kanwil BPN maupun BPN Karo sudah menyatakan bahwa peta bidang PT BUK dari awal sampai sekarang tidak ada berubah.
“Jadi kami PT BUK meminta Kapolres untuk adil, bila pihak Loid dan Simon mengklaim tanah mereka masuk di dalam tanah milik PT BUK, maka kita lihat dulu mana tanahnya, sesuai dengan alas haknya, jadi jelas karena sesuai dengan sidang lapangan pada saat perkara PTUN No 18, Loid menunjukkan batas batas tanah yang tidak sesuai dengan surat tanahnya. Yang paling mendasar adalah sebelah timur, terletak di persawahan Pancurbatu, namun pada waktu pengukuran atau survey lapangan, Loid sendiri mengakui, kalau batas ketiga yang ditunjuknya itu bukan persawahan Pancurbatu, karena letak persawahan Pancurbatu masih jauh dibawah,” kata Rita Wahyuni.
Lebih lanjut, Rita menyebut bila dicermati secara seksama jangan hanya enaknya saja dengan mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
“Disini bila kita mau cermati dengan seksama, inilah karakter orang yang mau enaknya saja. Mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Kalau kita mau fair, harus dimulai dari titik persawahan Pancurbatu maka tanahnya sesuai,” jelasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum masyarakat petani Puncak 2000 Siosar Imanuel Elihu Tarigan menyampaikan, sangat kecewa atas penolakan PT BUK untuk dilakukan pengukuran ulang HGUnya.
“Sangat aneh, mereka tidak bersedia dilakukan pengukuran ulang agar konflik ini bisa segera diselesaikan,” tegas Imanuel Elihu Tarigan, Minggu (29/5/2022).
Imanuel menduga bahwa ada kerjasama oknum Kantor Wilayah BPN Sumatera Utara dengan PT BUK untuk menyerobot dan menguasai area pertanian di Puncak 2000, Siosar.
“Kami berharap pihak Kepolisian dapat segera mengusutnya dan menangkap aktor-aktornya,” tegasnya.
Lebih lanjut, kata Imanuel Elihu Tarigan, salah satu sumber konflik pertanahan Puncak 2000 Siosar adalah terbitnya Peta Bidang Tanah HGU PT BUK pada bulan Desember 2020.
Sangat aneh, lanjutnya, karena HGU PT BUK yang terbit tahun 1997 tapi Peta Bidangnya terbit pada Desember 2020.
“Tim kami juga sudah menelusuri penerbitan dan pembuatan Peta Bidang Tanah HGU PT BUK pada Desember 2020 tidak sesuai dengan PP No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,” ujarnya.
Dimana, sambungnya, Peta Bidang tersebut dibuat tanpa ada berita acara pematokan dan pengukuran bidang tanah yang seharusnya disertai dengan berita acara yang ditandatangani semua pihak yang berbatasan langsung dengan area yang dipatok dan diukur. (JNS-BTM)
TANAH ULAYAT
Persoalan menguasai atau ambil alih Tanah Ulayat satu suku bangsa harus dilihat dari sudut KUD (Kontradiksi Utama Dunia) yang berlaku sekarang yaitu Kontradiksi antara nasionalisme vs kekuatan global NWO/Oligarki, yang dipedesaan disebut oleh Menko Mahfud ‘Cukong’. Dan Cukong ini dia bilang sudah menguasai 87% Pemda seluruh Indonesia. Dengan kekuasaan riil 87% ini tentu perusahaan apa saja dibawah kendali Cukong bisa mengambil alih apa saja dipedesaan, terutama yang sangat diidamkan ialah tanah atau tanah ulayat suku bangsa ditiap daerah Indonesia. Dengan mengambil alih banyak tanah di semua daerah tentu kekuasaan yang sekarang hanya 87% akan meningkat dengan cepat. Bagaimana kalau pemda sudah 99% dikuasai dan di pusat presidennya dibawah bayang-bayang Oligarki, tentu sudah jelas nasib Nation Indonesia. https://kolom.tempo.co/read/1520085/di-bawah-bayang-bayang-oligarki/full&view=ok
Karena itu pedoman terbaik melihat persoalan sekarang ialah dari dasar pengetahuan soal KUD itu, karena tanpa pengetahuan ini kita akan bingung saja tidak mengerti mana yang benar atau yang salah. Persoalan tanah didaerah adalah persoalan politik dan ‘politics is master science’ (Aristoteles). Semua pengetahuan lainnya atau apa saja soal kehidupan, mengabdi ke politik. Dan politik tidak akan pernah dimengerti secara tuntas kalau tidak mengerti KUD, yang di AS disebut ‘Affective Polarization’. Disana sudah jadi kehidupan sehari-hari, bahkan sudah meluas secara geografis juga. Jutaan perpindahan belakangan terjadi dari blue states ke red states. Orang bilang ‘pemilihan dengan kaki’ artinya angkat kaki alias pindah ke tempat dimana politiknya sesuai. Baca perpindahan ke Texas akhir-akhir ini. Persoalan menarik tetapi didak diketahui juga dimana nanti akhirnya.
Persoalan menguasai tanah-tanah ulayat didaerah Indonesia ini kelihatannya adalah permulaan Polarisasi Besar di Indonesia. Cukong/Oligarki memperbesar kekuasaannya dengan cara/jalan yang pasti, memperbesar kekayaan demi memperbesar Kekuasaan. Dan memperbesar Kekuasaan, lalu memperbesar harta/duit dst. Mari pelajari politik dari segi KUD. Semoga. M U Ginting.