Jeritan Buruh PT Anjas Saat Peralihan Pemilik: “Kami Tak Tahu Akan Kemana”

TAPSEL| Jelajahnews – Di balik hijaunya hamparan kelapa sawit PT Austindo Nusantara Jaya Agri Siais (ANJAS) Tapanuli Selatan (Tapsel), tersimpan kegelisahan para pekerja yang takut kehilangan pijakan hidup mereka.

Kabar peralihan kepemilikan dari PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) kepada First Resources Ltd, membuat hati para buruh terguncang.

Mereka cemas. Bukan soal siapa pemilik baru, tapi tentang nasib mereka yang seakan digantung tanpa kepastian.

Halawa, salah seorang buruh yang bekerja sebagai kerani kebun, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

“Kami dengar dari atasan, katanya perusahaan akan diambil alih. Tapi cuma disampaikan lisan, tidak jelas. Kami takut, bagaimana nasib kami nanti?” ucapnya lirih di komplek perumahan karyawan, Kamis (01/05/25).

Halawa bukan satu-satunya. Anto, buruh lainnya, mengaku hanya ingin satu hal: kejelasan.

“Tolong sampaikan secara resmi, tertulis, agar kami paham. Jangan buat kami menebak-nebak. Kami ini hanya orang kecil, kerja dengan keringat dan harapan,” ungkapnya.

Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Di tengah rumor yang beredar, banyak buruh takut kehilangan pekerjaan, dipaksa menerima sistem kerja baru yang merugikan, atau bahkan kehilangan hak-hak yang selama ini diperjuangkan.

“Kami bukan menolak perubahan. Tapi kami ingin dilibatkan, diberi informasi. Biar kami bisa bersiap, bukan sekadar pasrah,” lanjut Anto.

Menanggapi hal ini, Manajer Hubungan Eksternal PT ANJAS, Nurwachid, memastikan bahwa akuisisi hanya terjadi di tingkat induk perusahaan, bukan pada unit operasi seperti ANJAS. Ia juga menegaskan hak-hak buruh tetap dijamin sesuai peraturan yang berlaku.

“Proses masih berjalan, dan akan diumumkan secara resmi setelah RUPS Luar Biasa 7 Mei nanti. Tapi kami sudah sosialisasikan ini lewat surat dan apel pagi,” jelas Nurwachid dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5/2025).

Namun, suara hati para buruh tetap bergema. Mereka meminta pemerintah dan semua pemangku kepentingan hadir, melihat langsung keresahan yang mereka alami.

“Jangan tunggu kami mogok. Jangan tunggu air mata tumpah. Lihatlah kami, dengarlah suara kami,” kata Halawa, sambil menatap langit sore di kebun yang telah menjadi saksi hidupnya bertahun-tahun. (JN- Irul)