Istri Bupati Nonaktif Langkat Diperiksa, Lewat Surat Korban Mengadu ke Kapolri

MEDAN – TR Istri Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin hadiri panggilan Polda Sumut. Ia datang untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus kerangkeng manusia milik suaminya.

Amatan jelajahnews.id, Selasa (29/3/2022), TR datang dengan didampingi kuasa hukum Sangap Surbakti dan sekitar tiga orang wanita lainnya.

Saat keluar dari pintu mobil, TR yang memakai baju gamis sempat memberikan salam kepada sejumlah awak media. TR kemudian langsung masuk ke dalam gedung Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut.

“Aman dan baik-baik saja,” kata TR.

Sementara, Kuasa Hukum Sangap Surbakti mengatakan, ada dua orang kerabat dekat dari Terbit yang menjalani pemeriksaan. “Ada dua orang yang dipanggil (istri Terbit) dan SR (adik Terbit), panggilannya terkait TPPO,” katanya.

Hingga saat ini, kata Sangap, istri Terbit telah datang. Sedangkan SR yang juga sebagai Ketua DPRD Langkat sedang dalam perjalanan ke Polda Sumut.

“Ibu SR Senin (28/3/2022) jadwal pemanggilan, tapi karena paripurna minta dijadwal hari Selasa,” tukasnya.

Diketahui, temuan mengejutkan di rumah Terbit Rencana Perangin-angin berawal ketika KPK melakukan penggeledahan atas perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa.

Sebuah bangunan menyerupai kerangkeng manusia ditemukan di dalam rumah Terbit. Berbagai dugaan muncul atas penemuan kerangkeng itu.

Sementara, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut sudah mengirim surat ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, terkait penanganan kasus penganiyaan di kerangkeng, milik Terbit oleh Polda Sumut.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, surat kepada Kapolri yang dikirimkan berupa kekecewaan para korban penganiayaan di kerangkeng tersebut.

Sebab, para korban mengaku kecewa dengan sikap Polda Sumut, yang masih membiarkan para tersangka hirup udara segar.

“Kita sudah kirimkan surat kekecewaan dari korban kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit, terkait sikap dari Polda Sumut, yang membiarkan begitu saja penanganan kasus ini,” kata Edwin.

Ia heran, para tersangka penganiayaan hingga menyebabkan cacat permanen dan kematian, dibiarkan begitu saja, setelah usai diperiksa oleh penyidik Polda Sumut.

“Karena sudah ada yang meninggal dunia dan ini bukan perkara biasa, sudah ada yang meninggal dan cacat akibat penyiksaan,” ungkapnya.

Dirinya membandingkan penanganan perkara di Indonesia, terkhusus Sumatera Utara dengan Amerika Serikat. Di Amerika, menurutnya bila tersangka tidak ditahan, diminta untuk membayar sejumlah uang guna ganti rugi kepada korban. Yang nominalnya, sambungan mencapai 500 ribu Dollar AS.

“Kalau di AS begitu. Untuk kasus pembunuhan satu orang pelaku bisa dikenakan segitu. Jika di rupiah kan, jumlahnya mencapai 7,5 miliar,” jelasnya.

Kemudian, Edwin mengatakan, jika ada delapan pelaku, maka nominal ganti rugi mencapai Rp 60 miliar.
Pihaknya juga berharap, Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) dapat bertindak melakukan pengawasan, terhadap kinerja Polda Sumut dalam menangani kasus ini.

Karena kerangkeng itu, belasan orang mengalami gangguan kejiwaan, belasan lainnya cacat permanen dan meninggal dunia. (JNS/r)