TARUTUNG – Kalau anda membangun sentimen atau persepsi positif maka anda akan menjadi bahagian terpenting dari demokrasi untuk ikut mencerdaskan. Tetapi, jika anda menjadi bagian sentimen negatif dengan hadirnya manipulasi dan kebohongan dalam menuliskan sebuah presepsi maka anda adalah menjadi benalu.
Hal itu disampaikan Dimpos Manalu, pengajar Fisipol Universitas Nomensen dalam paparannya bertajuk “Media Politik Bermartabat dan Demokrasi” saat tampil sebagai pembicara pada pengukuhan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Tapanuli Utara di Gedung Sopo Partungkoan, Tarutung, Rabu (10/11/2021).
Dimpos mengemukakan, pers berpotensi besar berperan aktif dalam pembangunan kualitas demokrasi tetapi bisa juga menjadi benalu dalam demokrasi itu sendiri. “Anda bisa menjadi kontra produktif bagi demokrasi,” tandasnya.
Menurutnya, polemik dalam demokrasi itu sebenarnya masalah persepsi. Dan yang membangun presepsi itu adalah pers yang bekerja di industri perusahaan media. Maka, peran media di demokrasi adalah di presepsi.
Dikatakan Dimpos, dalam menuangkan produk jurnalistik, kalau tidak ada lagi wartawan yang secara sistematis menulis dan melaporlan dengan didukung data dan fakta, maka tidak ada bedanya dengan yang lain.
Pers menjadi benalu, sambung Dimpos, bisa ditandai dengan munculnya gejala anti demokrasi antara lain kekacauan informasi, meningkatnya informasi bohong (fake news,hoaxes), editing foto dan
data statistic yang menyesatkan.
Kemudian, publik sulit mendapatkan informasi yang kredibel dan dapat diandalkan sebagai pedoman yang mengakibatkan timbulnya keresahan, kecemasan, kekuatiran, dan
kekacauan.
“Tantangan demokrasi terutama di era sekarang, bagaimana mengembalikan fungsi media/pers, jurnalisme berkualitas untuk membangun dan mengembalikan kepercayaann publik, literasi berita è-literasi media, akurasi, independen, keadilan/imparsialitas, kerahasiaan,
kemanusiaan, akuntabilitas, transparansi, advokasi dan emansipasi digital,” tandas pria jebolan doktoral di UGM Jogyakarta itu.
Sebelumnya, Ketua SMSI Tapanuli Utara Jan Piter Simorangkir, usai dikukuhkan menyampaikan, Pers seringkali pers keluar dari nilai etis dan jalur tugas yang terkandung dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan berpotensi membuat keresahan atau rasa tidak nyaman ditengah masayrakat.
Kata Jan Piter, pers dalam melakukan tugas jurnalistiknya serta payung kebebasan berkarya yang melindunginya juga tidak luput dari kesalahan dan kebablasan.
“Tentu, kita tidak bisa menggunakan atas nama kebebasan, akhirnya mencaci maki dan memfitnah orang, atas nama kebebasan menyebarkan kebohongan dan atas nama kebebasan menghakimi kepintaran dan kecerdasan orang,” sebutnya.
Perilaku dan sikap Pers seperti itu sebut Jan Piter, bisa saja muncul, terutama pada perhelatan pesta demokrasi baik Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah yang akan dilakukan pada dua tahun mendatang.
“Kebebasan Pers bukan seperti itu, tetapi dilakukan secara beretika dan bertanggung jawab, sesuai dengan slogan SMSI Stop Hate, Stop Crime dan Stop Hoaks,” tandasnya. (Ganda)