JELAJAHNEWS.ID – Ratusan pedagang Pasar Tradisional Sangkumpal Bonang, Kota Padang Sidempuan kian hari semakin terpinggirkan dan “tak berharga” bagi pemodal besar.
Para pedagang itu kini dihantui dengan ketakutan, bingung dan tak lagi nyenyak berjulan karena dibayang-bayangi dengan penggusuran. Mau melawan apa daya lantaran mereka hanya kaum miskin dan terpinggirkan.
Tempat yang selama ini menggantungan harapan mencari nafkah hingga menyekolahkan anak-anak tak lama lagi akan sirna. Pedagang pasar tradisional itupun tak bisa berbuat apa-apa, mereka seakan pasrah.
Siapa tak tergugah hatinya, kala mendengar jeritan hati dari pedagang kecil yang selama puluhan tahun menggantungkan hidupnya dengan berjualan di sekitar pelataran Pasar Sangkumpal Bonang, Kota Padang Sidempuan.
Di tengah geliat ekonomi yang sempat merosot akibat pandemi Covid-19, pedagang mendapat kabar dari pemodal untuk mengosongkan lapak atau tempat berjualannya hingga Kamis (1/9/2022) mendatang.
“Kami mohonlah kepada pihak PT ATC (Anugerah Tetap Cemerlang), biar tak menggusur tempat jualan kami ini Pak. Kami mohon kali Pak,” ujar Mardiah Harahap (52) berurai air mata, Senin (29/8/2022) sore.
Wanita yang sehari-hari berjualan sayur-mayur itu mengaku, dirinya sudah berjualan selama puluhan tahun di pelataran Pasar Sangkumpal Bonang Kota Padang Sidempuan, kini Mardiah bingung mau berbuat apa.
Jika penggusuran yang konon kabarnya untuk membangun Masjid itu terjadi, ia tak tau harus mencari nafkah di mana lagi.
Sambil menyeka air mata dengan menggunakan jilbabnya, Mardiah mengaku sedih, jika harus membayangkan ia akan digusur dari lapaknya.
“Enggak tau lagi aku Pak, mau di mana cari makan (kalau digusur). Tolonglah, Pak sampaikan ke pemerintah supaya kami bisa tetap jualan di sini,” ujarnya sedih tak sanggup berkata-kata lagi.
Senada, Mak Daus (62) sehari-hari berjualan cabai, tomat, bawang dan lain-lainnya. Ia juga mengaku sudah dua puluh tahun lebih berjualan di lokasi tersebut.
“Anak-anakku pun sekolah sama makan kami, ya hasil dari jualan di sinilah, Nak,” ucap Mak Daus sembari matanya berkaca-kaca.
Bukannya tak patuh dengan aturan yang berlaku, Mak Daus mengaku jika selama ini, dirinya selalu taat membayar uang kebersihan sebesar Rp 3 ribu per harinya. Begitu juga dengan uang jaga malam, Mak Daus juga selalu membayar sebesar Rp2 ribu tiap harinya.
Sebelum Covid-19 melanda, Mak Daus mengaku, jika ia selalu rajin membayar sewa lapak kepada pihak PT ATC sebesar Rp 500 ribu perbulannya. Memang selama Covid-19 melanda Mak Daus mengaku harga sewa lapaknya diturunkan menjadi Rp 400 ribu.
“Kalau pun kami harus mundur sedikit dari lapak ini, kami terima. Tapi tolonglah, jangan gusur kami. Kemana lagi kami mau berjualan. Sedangkan sekarang aja sudah sunyi pembeli. Apalagi kami harus misalnya dipindah dari sini, bisa tak laku nanti jualan kami, Nak,” tambah Mak Daus.
Dua pedagang di atas, merupakan potret jeritan hati masyarakat kecil yang berjuang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dua pedagang tersebut, berharap ke pemerintah agar dapat mencari solusi yang terbaik untuk nasib mereka ke depan. (JNS-Irul)