Misteri Izin Sawit PT Tondi Barumun: Tidak Terdaftar, Tapi Tetap Berkebun

PALAS| Jelajahnews – Dugaan praktik pembukaan lahan tanpa izin di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) oleh PT Tondi Barumun Sejahtera (TBS) di Desa Siundol, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas (Palas), Sumatera Utara, semakin menguat.

Lembaga lingkungan Forester Indonesia menuding perusahaan tersebut melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan negara, dengan luasan mencapai 300 hingga 1.000 hektar, tanpa mengantongi izin resmi dari pemerintah.

Direktur Forester Indonesia, Riski Sumanda, mengungkapkan bahwa timnya telah melakukan verifikasi di lapangan menggunakan citra satelit Sentinel dan pemetaan titik koordinat (SHP file).

Data tersebut kemudian diserahkan ke Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) Sumatera Utara, yang baru dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025.

“Kami menemukan bukti nyata aktivitas perkebunan sawit di atas kawasan hutan produksi terbatas.

Negara ini tidak boleh tunduk kepada premanisme lahan. Semua harus tunduk pada hukum,” tegas Riski saat dihubungi, Kamis (24/4/2025).

Forester Indonesia menyebut kawasan itu masuk dalam peta kawasan hutan negara berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.8088/MENLHK-PKTL/PLA.0/12/2019.

Artinya, setiap aktivitas perkebunan di wilayah itu wajib mengantongi izin pelepasan kawasan hutan sesuatu yang menurut Riski, tidak dimiliki PT Tondi Barumun Sejahtera.

Klaim ‘Tanah Adat’ dan Pembelaan Perusahaan

Menanggapi tudingan tersebut, Direktur PT Tondi Barumun Sejahtera, Bahari APL, menyampaikan pembelaannya. Dalam pesan WhatsApp kepada Awak media (26/04/2025), Bahari mengaku bahwa sejak 2011 pihaknya telah mengajukan permohonan izin ke Kementerian Kehutanan, namun tidak kunjung disetujui.

“Kami putra daerah. Tanah itu milik masyarakat kami secara adat, bukan negara,” kata Bahari.

Ia menambahkan, PT TBS telah mengajukan permohonan legalisasi melalui program percepatan penyelesaian sengketa kawasan hutan, dan saat ini masih menunggu pemeriksaan dari Satgas.

Bahari juga mengklaim bahwa tanah tersebut dulunya merupakan lahan Proyek PMD tahun 1970-an, yang diperuntukkan bagi warga lokal.

“Kami bukan perambah liar. Kami ingin maju bersama masyarakat,” tambahnya.

Namun dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2025, yang berisi daftar 436 perusahaan kelapa sawit yang sedang berproses legalisasi atau telah ditolak izinnya, tidak terdapat nama PT Tondi Barumun Sejahtera.

Absennya nama PT TBS dalam SK tersebut memunculkan pertanyaan besar tentang klaim proses legalisasi yang disampaikan Bahari.

Bukan Hanya Tidak Berizin, Tapi Juga Tidak Terdaftar

Data dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara memperkuat kecurigaan ini. Di Kecamatan Sosopan, hanya dua izin resmi yang tercatat PT Barumun Raya Langkat yang izinnya justru dalam proses pencabutan karena tunggakan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) serta izin usaha Hutan Kemasyarakatan (HKm) milik Gapoktan Bukit Mas.

Artinya, selain tidak memiliki izin kehutanan, PT Tondi Barumun Sejahtera juga tidak masuk dalam daftar resmi perusahaan yang tengah diproses legalitasnya.

“Ini soal keteladanan dalam penegakan hukum lingkungan. Kalau dibiarkan, hutan kita habis, rakyat yang akan rugi,” kata Riski.

Diamnya Aparat dan Ancaman Pembiaran

Sementara itu, seorang warga Desa Siundol yang enggan disebut namanya mengaku tidak mengetahui soal izin tersebut.

“Kebun itu sudah ada sejak lama. Tapi soal izin atau tidak, kami tidak tahu,” ujarnya.

Diamnya aparat dan lambannya penanganan atas dugaan ini menimbulkan pertanyaan soal adanya potensi pembiaran atau bahkan permainan di tingkat lokal.

Sebab, dalam beberapa kasus serupa di Sumatera, perambahan hutan kerap dilindungi oleh oknum pejabat dan aparat keamanan.

Forester Indonesia memastikan, mereka akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. “Sejak 2011 kami telah mendokumentasikan kekayaan hayati di wilayah ini dari flora langka hingga habitat fauna endemik. Ini bukan hanya soal sawit, ini soal masa depan ekologi Sumatera,” pungkas Riski. (P.Harahap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *