P.SIDIMPUAN | Jelajahnews – Hampir dua bulan berlalu sejak longsor dan banjir melanda Lingkungan III, Kelurahan Sitamiang Baru, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan. Namun, duka dan perjuangan warga korban terdampak seolah tak pernah usai.
Mereka masih bertahan, menanti uluran tangan yang tak kunjung datang dari Pemerintah Kota P.Sidimpuan. Di lokasi longsor yang rusak parah, pemandangan memilukan menyayat hati. Puing-puing tanah bercampur batu besar dan sisa bangunan yang runtuh berserakan di mana-mana.
Di tengah kondisi memprihatinkan ini, sejumlah warga dengan wajah penuh harap tetap berjuang memulihkan keadaan. Mereka bekerja seadanya, mengumpulkan potongan kayu dan papan bekas untuk membangun tempat berteduh sementara.
Bertahan dalam Ketidakpastian
Ngatinem (61), seorang ibu yang kehilangan rumahnya dalam longsor pada 13 Maret 2025, hanya bisa pasrah. Rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung bersama suami, anak, dan cucu hancur seketika diterjang bencana.
Kini, mereka terpaksa menumpang di rumah saudara. Kadang, mereka bahkan tidur di teras masjid atau rumah warga lain.
Dengan suara lirih dan mata berkaca-kaca, Ngatinem menceritakan betapa seringnya petugas datang ke lokasi, mengambil foto, dan berjanji akan membangun rumah mereka kembali. Namun, hingga kini, semua itu hanya janji tanpa realisasi.
“Sudah sering petugas datang, ambil foto, katanya mau dibangun. Tapi sampai sekarang belum juga ada kabar. Kami terpaksa bangun tempat tinggal seadanya,” ungkap Ngatinem penuh kecewa, Minggu (11/5/2025).
Tidak hanya Ngatinem, enam rumah warga lainnya juga mengalami kerusakan berat. Namun, bantuan dari pemerintah tak kunjung tiba.
Harapan mereka perlahan memudar, tetapi warga tak punya pilihan lain selain bertahan dan saling menguatkan.
Solidaritas Warga dan Pemuda: Cermin Ketulusan
Di tengah keterpurukan ini, justru solidaritas warga dan pemuda setempat menjadi oase harapan. Mereka bergotong royong membangun gubuk seadanya dari bahan bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Tanpa banyak mengeluh, mereka saling menopang dan berbagi apa yang ada.
Bantuan konkret datang dari seorang pria warga setempat, Sabar M Sitompul. Dengan ketulusan hati, Sabar mengorbankan konsen jendela yang sebenarnya ia rencanakan untuk rumahnya sendiri, namun memilih mendahulukan kebutuhan warga terdampak.
Dalam foto yang menggugah hati, terlihat Sabar menyerahkan konsen jendela kepada Ngatinem. Beberapa anak kecil dan warga lain berdiri di depan bangunan yang masih setengah jadi, menatap penuh harapan akan kehidupan yang lebih baik.
“Kami melihat warga sudah terlalu lama menunggu janji yang tak kunjung ditepati. Karena itu, kami berinisiatif membantu agar mereka punya tempat tinggal lagi,” ujar Sabar, pria hitam manis berlesum pipi itu.
Langkah Sabar bukan hanya memberikan bantuan fisik, tetapi juga menyuntikkan semangat bahwa kemanusiaan tidak boleh menunggu. Ketika pemerintah lamban bergerak, solidaritas warga menjadi kekuatan utama yang mampu menopang sesama.
Tuntutan kepada Pemerintah: Jangan Tutup Mata
Di tengah kondisi yang sulit ini, warga hanya bisa berharap Pemerintah Kota Padangsidimpuan segera menepati janji untuk membangun kembali rumah-rumah yang rusak. Hati mereka semakin perih ketika melihat anak-anak bermain di antara puing-puing, tanpa ada jaminan keselamatan.
“Kami bukan tidak sabar, tapi kami butuh kepastian. Anak-anak butuh tempat tinggal yang layak. Jangan sampai pemerintah kalah peduli dari warga sendiri,” tutur Ngatinem dengan nada penuh harap.
Potret longsor yang memilukan ini seharusnya menggugah hati siapa pun yang melihat. Warga tidak ingin terus hidup dalam ketidakpastian, apalagi dengan janji yang tak kunjung ditepati. Mereka hanya ingin hak mereka sebagai warga negara dipenuhi: tempat tinggal yang aman dan layak.
Kemanusiaan Tak Boleh Menunggu
Kisah ini mengajarkan kita bahwa di balik bencana, selalu ada harapan yang tumbuh dari ketulusan. Ketika bantuan resmi terasa jauh dari jangkauan, semangat gotong royong dan kepedulian sesama menjadi pelita di tengah kegelapan.
Semoga Pemerintah Kota Padangsidimpuan segera mendengar jeritan hati warganya dan bergerak cepat memenuhi hak dasar mereka. Karena pada akhirnya, kemanusiaan tak boleh menunggu. (JN-Irul)