TAPUT – Perambahan hutan di wilayah administratif Pemkab Tapanuli Utara, Sumut dalam kurun waktu lima tahun terakhir masih “marak dan massif” berlangsung, Rabu (8/12/2021).
Meski sudah sering dipublikasi para awak media baik cetak dan online, serta diviralkan para netizen di sosmed, perambahan hutan tersebut tetap saja berlangsung dan semakin gencar dilakukan oknum-oknum nakal tertentu.
Seperti halnya perambahan Hutan Adat di Aek Nasia, Desa Hutatoruan VIII, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara dalam seminggu terakhir menyeruak ke publik sehingga menjadi viral dan perhatian banyak pihak.
Hasil penelusuran kru media ini bersama Ketua Tim Investigasi LBH Pers Indonesia Provinsi Sumut, Octavianus, melakukan Investigasi ke lapangan dan memperoleh informasi dari berbagai sumber yang layak dipercaya.
Kemudian, dalam pertemuan tatap muka di kantor Kodim 0210/TU mulai terkuang bahwa Laporan Pengaduan atas adanya perambahan hutan ini sudah disampaikan ke Polres Taput pada Sabtu 4 Desember 2021 lalu.
Mewakili keluarga besar Lumban Tobing Ompu Sumuntul meminta agar LP tersebut segera ditindaklanjuti dan diproses, serta menekankan agar perambahan hutan segera dihentikan demi mencegah bentrok fisik yang mungkin bisa terjadi.
Sebab menurutnya, pihak Lumban Tobing dikatakan sudah dua kali menegur langsung ke TKP tapi kegiatan masih terus berlanjut seakan-akan teguran itu tak berlaku dan cenderung diabaikan begitu saja.
Dalam suatu pertemuan yang seyogianya utusan marga Tobing melakukan audiensi ke Kapolres Taput, namun karena suatu kesibukan Kasat Reskrim Polres Taput didampingi Kanit berkenan hadir di ruang kerja atas inisiatif Dandim.
Dandim 0210/TU, Letkol Inf Harry Sandra mengatakan akan segera melakukan pendalaman untuk menghentikan kegiatan perambahan hutan itu.
H Tobing, seorang utusan kepada kru media menjelaskan, kawasan yang dirambah itu adalah ulayat marga Tobing khususnya Ompu Sumuntul. Dan jika ada marga Manik mengaku memiliki tanah di wilayah Aek Nasia, itu benar, tetapi hanya sebatas perkampungan.
“Marga Manik yang ada di wilayah itu dalam istilah adat Batak lazim disebut “Boru Na Pinaraja” (menantu yang diberi hak atas sebidang tanah untuk membuka perkampungan dan berdaulat sendiri-red). Itu jelas di-adat-kan, dan dulu ada acara khusus saat penyerahan tanah itu, dihadiri para Raja Bius,” tegas H Tobing.
Lalu, lanjutnya, kalau ada marga lain yang mengklaim laham itu miliknya, lalu seenaknya mengambil kekayaan alam dan merusak kawasan itu, itu yang tidak diterima oleh pihak marga Tobing atau Ompu Sumuntul.
Hal senada disampaikan T Tobing, bahwa marga Tobing Ompu Sumuntul tidak pernah memberi tanah kepada marga lain di kawasan itu, selain kepada marga Manik.
“Kalau ada marga lain mengklaim kawasan itu hak milik mereka dengan menunjukkan selembar Surat Izin yang ditandatangani pejabat Sekda Taput tahun 1972, kita tidak tahu itu, dan apa kapasitas Sekda memberikan hak ulayat orang lain kepada pihak lain. Itu bukan atas sepengetahuan kita marga Tobing,” terangnya.
Sementara, dalam kurun waktu tiga tahun belakangan masyarakat Taput kerap bersuara lantang dengan harapan segala bentuk pengrusakan lingkungan atas nama apapun dapat dihentikan oleh pihak terkait.
Diketahui, dampak dan akumulasi perambahan hutan sangat jelas terlihat dan terasa seperti contoh debit air Sungai Sigeaon yang melintasi kota yang eksotik semakin susut hari demi hari. Bahkan keperluan air untuk kebutuhan sehari-hari sering dikeluhkan warga disebabkan kelangkaan air yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kades Tidak Tahu Berapa Ton Kayu yang Diangkut Keluar.
Kepala Desa (Kades) Aek Nasia bermarga Manik mengakui bahwa dirinya adalah benar mengeluarkan SKT atas marga Tarihoran. Namun pengambilan kayu itu dikuasakan kepada marga Sinaga, tetapi pengusaha yang mengambil pinus adalah JS disebut-sebut adik kandung salah seorang oknum pejabat teras di Kabupaten Taput.
“Belum tahu saya, sudah berapa mobil truck yang sudah diangkut karena hingga kini saya tidak ada laporannya, tapi kalau luas areal yang dirambah itu sekitar 4.5 Hektare,” terang Kades disaat dimintai keterangannya.
Ia pun mengakui bahwa latar belakang sejarah keberadaan marga Manik berada di wilayah itu adalah karena “diparaja” atau atas pemberian izin dari marga Tobing yang nota bene adalah Hulahula mereka.
Kemudian, hasil pantauan di TKP pada Senin (6/12/2021) sore, kru media ini menyaksikan masih ada sebuah alat berat sedang beroperasi di areal yang dugaannya masih sengketa, serta satu unit truck telah stand by di area penumpukan kayu pinus tersebut. (JJ)