JAKARTA| Jelajahnews – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menyampaikan perkembangan salah satu program prioritas kementeriannya, yakni penataan dan pendaftaran Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Seperti perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang belum mengantongi izin tersebut. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang berlangsung di Gedung Nusantara II, Jakarta, Kamis (30/01/2025).
Dalam pemaparannya, Menteri Nusron menjelaskan bahwa hingga saat ini terdapat 537 perusahaan perkebunan sawit yang telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tetapi belum memiliki HGU. Langkah penertiban ini dilakukan sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dan optimalisasi tata kelola pertanahan di sektor perkebunan.
“Yang sudah dalam proses pengajuan izin ke kami hingga batas waktu 3 Desember ada 150 perusahaan dengan luas 1.144.427,46 hektare. Saat ini sedang dalam proses identifikasi untuk dicocokkan apakah lahan tersebut bertabrakan dengan kawasan hutan atau tidak,” terangnya.
Lebih lanjut, Menteri Nusron menekankan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari perubahan regulasi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Dengan perubahan tersebut, setiap badan hukum yang menjalankan aktivitas budidaya atau pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki IUP dan HGU sebagai dasar hukum kepemilikan dan pengelolaan lahan.
“Pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga badan hukum ini menjadi wajib memiliki IUP dan HGU. Akibat perubahan ini, ada 537 perusahaan pemegang IUP tetapi tidak memiliki HGU. Jika dihitung luasnya berdasarkan izin usaha perkebunan (IUP), totalnya mencapai 2,5 juta hektare,” jelas Menteri Nusron.
Sebelum masa jabatan Menteri Nusron, dari total 2,5 juta hektare lahan tersebut, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan permohonan HGU untuk 193 perusahaan sawit dengan total luas 283.280,85 hektare. Namun, masih terdapat jutaan hektare lahan lainnya yang belum memiliki status hukum yang jelas.
Menteri Nusron menegaskan bahwa pihaknya akan terus mendorong percepatan pendaftaran HGU ini guna menciptakan kepastian hukum, meningkatkan investasi di sektor perkebunan, serta mencegah konflik agraria yang berpotensi terjadi akibat status kepemilikan lahan yang tidak jelas.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengapresiasi langkah Kementerian ATR/BPN dalam melakukan penertiban ini. Menurutnya, kebijakan ini sangat penting untuk memastikan bahwa lahan perkebunan dikelola secara legal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Progres pendaftaran hak atas tanah terhadap 150 perusahaan yang setara dengan 1.144.427,46 hektare ini, yang sudah mengajukan ke Kementerian ATR/BPN, ini kasih tahu ke kita prosesnya ya, Pak Menteri, agar 150 perusahaan ini bisa diberi sertipikat,” ujar Rifqinizamy dalam rapat tersebut.
Selain itu, ia juga meminta agar Kementerian ATR/BPN terus memperbarui data dan melaporkan perkembangan proses penerbitan HGU ini kepada Komisi II DPR RI. Ia menegaskan bahwa transparansi dalam proses ini sangat penting untuk menghindari potensi pelanggaran atau penyalahgunaan lahan di kemudian hari.
Dalam kesempatan ini, Menteri Nusron turut menyampaikan bahwa kementeriannya telah berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta instansi terkait lainnya untuk memastikan bahwa lahan yang diajukan HGU tidak masuk dalam kawasan hutan atau wilayah yang dilindungi.
“Kami terus berkoordinasi dengan KLHK dan pihak terkait untuk memastikan lahan-lahan ini tidak melanggar ketentuan tata ruang dan kehutanan. Jadi, nanti yang bisa mendapatkan HGU benar-benar sesuai aturan,” tambahnya.
Hadir mendampingi Menteri Nusron dalam Rapat Kerja ini, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Ossy Dermawan, serta para Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama Kementerian ATR/BPN. Sementara itu, seluruh Kepala Kantor Wilayah BPN se-Indonesia beserta jajaran mengikuti rapat secara daring.
Selain membahas progres penertiban HGU perusahaan perkebunan sawit, rapat ini juga menyinggung pentingnya penguatan sistem digitalisasi pertanahan, guna meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam proses administrasi pertanahan di Indonesia.
Menteri Nusron menegaskan bahwa langkah ini bukan hanya sekadar penertiban, tetapi juga bagian dari komitmen pemerintah untuk membangun tata kelola pertanahan yang lebih profesional, transparan, dan berorientasi pada kepastian hukum.
“Kami ingin memastikan bahwa setiap lahan perkebunan memiliki status hukum yang jelas, sehingga tidak hanya melindungi hak-hak perusahaan, tetapi juga menghindari potensi konflik lahan di masa depan,” pungkas Menteri Nusron. (JN- Tim)