TAPSEL – Pasangan suami istri (Pasutri) terpidana kasus pemalsuan dokumen surat tanah yang sudah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Padang Sidempuan dan divonis tahun 2020 lalu, tak kunjung dieksekusi Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan.
Hal ini, tentu mengundang tanda tanya bagi sejumlah pihak. Apalagi, putusan PN Padang Sidempuan dikuatkan lagi dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) pada 2021 lalu.
Adapun diketahui tanah yang menjadi objek perkara berada di Desa Muara Opu, Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapsel dengan luas 400 hektar.
Sebagai informasi, adapun yang menjadi terpidana yang belum dieksekusi Kejari Tapsel, yakni AHL bersama istrinya SH.
Keduanya, diadukan abang kandungnya sendiri, Basrah Lubis atas perkara pemalsuan dokumen surat tanah di Desa Muara Upu seluas 400 hektar di Polres Tapsel pada tahun 2014 lalu.
Tanah seluas 400 Ha itu, pembeliannya sendiri menggunakan uang yang dimodali abang kandung dari Basrah Lubis dan AHL, yakni Almarhum Imran Lubis.
Usai dibeli dari pemiliknya pada 2007 lalu, dibuat akta perjanjian No.58/2007, dimana di dalam akta tersebut disebutkan bahwa tanah yang rencananya akan dibuat kebun sawit atas nama AHL.
Hal tersebut diuraikan secara rinci oleh Kuasa Hukum Almarhum Imran Lubis beserta ahli warisnya, yakni Ridwan Rangkuti kepada wartawan, Senin (6/6/2022) siang di Padang Sidimpuan.
Dijelaskan Ridwan, Almarhum Imran Lubis memodali Basrah Lubis dan AHL untuk mengolah lahan seluas 400 Ha.
Di dalam akta perjanjian, kata Ridwan, dari 400 Ha tanah itu, rencananya 132 Ha akan dibagikan kepada Basrah Lubis dan AHL. Artinya, Basrah Lubis dan AHL mendapat bagian masing-masing 66 Ha.
Namun, di tengah perjalanan, tepatnya pada 2012 lalu, AHL secara sepihak meminta bagian tanahnya sebanyak 50 Ha ke Almarhum Imran Lubis.
“Padahal, saat itu lahan baru diolah sekira 80 persen dan yang menghasilkan sawit baru sekitar 100 Ha. Ini berarti tidak sesuai dengan perjanjian di awal antara klien saya, Almarhum Imran Lubis dengan AHL,” ujar Ridwan.
Meski begitu, kata Ridwan, kala itu Almarhum Imran Lubis, tetap memberikan lahan dari 400 Ha sebanyak 35 Ha ke AHL sesuai kesepakatan di akta perjanjian, mengingat tanah yang diolah baru berjalan 80 persen dan menghasilkan sawit lebih kurang 100 Ha.
Tak berhenti di situ, lanjut Ridwan, pada di 2013, datang seseorang yakni Almarhum SS dan sejumlah massa ke tanah tersebut.
“Saat itu, Almarhum SS mengusir para pekerja kebun di tanah tersebut untuk menghentikan aktivitasnya. Almarhum SS mengklaim tanah tersebut miliknya karena sudah dibeli dari AHL,” kata Ridwan.
Atas kejadian tersebut, terang Ridwan, Almarhum Imran Lubis mengkuasakan kepada Basrah Lubis untuk melaporkan Almarhum SS, AHL, dan SK pada 2014 lalu. Akhirnya, almarhum SS dan AHL bersama beberapa massanya ditetapkan tersangka.
Sedangkan AHL beserta istrinya SK, ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen. Semua sudah menjalani sidang dan sebagian tersangka sudah menjalani vonis hukuman.
Saat disidangkan di PN Padang Sidempuan, AHL divonis 2 tahun penjara dan istrinya, SK divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
Keduanya, sempat mengajukan kasasi ke Pengadilian Tinggi di Medan. Bahkan, putusan PN Padang Sidempuan pada 2020 lalu, dikuatkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung RI No.889 K/Pid/2021 terkait vonis AHL dan istrinya SK.
“Namun anehnya, hingga saat ini, Kejari Tapsel tak kunjung mengeksekusi AHL dan istrinya SK. Malahan, pihak AHL dan SK saat ini malah mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara tersebut,” jelas Ridwan.
Alasan AHL mengajukan PK, ungkapnya, karena adanya bukti baru, berupa surat perdamaian antara AHL dan Basrah Lubis. Padahal, surat perdamaian itu muncul setelah keluarnya putusan dari MA RI yang berkekuatan hukum tetap.
Menurut Ridwan, pengajuan PK tersebut tidaklah mendasar, sebab Basrah Lubis bukan korban dalam perkara tersebut.
“Basrah Lubis, hanya sebagai pelapor ke Polres Tapsel pada 2014 lalu, atas perkara yang dikuasakan almarhum Imran Lubis untuk melaporkan almarhum SS, AHL, dan SK tentang dugaan tindak pidana membuat keterangan palsu, menggunakan surat akta palsu (pemalsuan dokumen) berupa akta peralihan hak atas tanah milik almarhum Imran Lubis,” tambah Ridwan.
Ridwan menerangkan, berdasarkan KUHAP, yang dimaksud dengan Novum adalah bukti yang ditemukan di suatu perkara saat berjalannya persidangan, bukan bukti yang dibuat setelah keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jika bukti dibuat setelah putusan yang berkekuatan hukum tetap, maka upaya hukum dapat dilakukan terpidana dengan mengajukan gugatan perdata karena menyangkut masalah hak kepemilikan tanah.
“Kami juga berharap, atas nama klien kami Irwan Lubis yang merupakan ahli waris dari Almarhum Imran Lubis selaku korban pada perkara tersebut, kami memohon kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan fakta hukum tersebut,” harap Ridwan.
Rencananya, tambah Ridwan, sidang PK terkait perkara tersebut akan dilaksanakan di PN Padang Sidempuan, pada Kamis (9/6/2022) mendatang.
Ridwan berharap, Majelis Hakim dapat membuat pendapat hukum alasan permohonan PK terpidana AHL dan istrinya SK, tidak berdasar hukum.
Terpisah, Kasi Intel Kejari Tapsel, Samman Dohar Munthe, saat dikonfirmasi awak media mengatakan bahwa pihaknya akan mengkoordinasikan dahulu dengan Kasi Pidum terkait hal tersebut. (JNS-Irul)