Bikin Malu, Pasien Rujukan BPJS ke Rumah Sakit Layanan Buruk

MEDAN – Sejumlah rumah sakit (RS) di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi fasilitas kesehatan (Faskes) rujukan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai layanan kesehatan masih buruk dan bikin malu saja.

Hal itu dibuktikan tatkala banyaknya pengaduan masyarakat masuk ke Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara (Sumut).

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar mengatakan, banyak masyarakat mengadukan dan mengeluhkan buruknya layanan fasilitas kesehatan dalam melayani pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) BPJS Kesehatan.

“Banyak masuk pengaduan masyarakat dan mengeluhkan buruknya layanan fasilitas kesehatan dalam melayani pasien peserta program JKN-KIS BPJS Kesehatan,” kata Abyadi Siregar kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat (20/5/2022).

Sebelumnya, Abyadi Siregar menjadi narasumber dalam pertemuan koordinasi peningkatan mutu layanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) di wilayah Sumut dan Aceh yang diselenggarakan BPJS Kesehatan di Hotel Four Point Medan, Rabu (18/5/2022).

Dalam pertemuan yang diikuti seratusan peserta terdiri dari para Dirut Rumah Sakit se-Sumut-Aceh, IT Rumah Sakit, Kepala Cabang BPJS Kesehatan Sumut-Aceh, Kabid PMR, IT Kantor Cabang BPJS Kesehatan dan Staf Faskes Rujukan, Abyadi Siregar menegaskan perlunya Faskes penyelenggaraan layanan kesehatan memiliki dan menerapkan standar layanan publik.

“FKRTL harus memiliki sekaligus menerapkan standar layanan publik. Seperti keterangan tentang penanganan pasien IGD, pasien rawat inap, pasien rawat jalan, biaya layanan, fasilitas yang diberikan dan lainnya,” katanya.

Faskes, lanjut Abyadi, tidak boleh membiarkan pasien menunggu lama apalagi sampai menelantarkan pasien yang ingin mendapatkan layanan kesehatan.

“Ada masyarakat yang mengadukan RS Swasta di Medan ke Ombudsman karena lamanya dalam menangani pasien rujukan dari daerah. Pasien itu harus menunggu berjam-jam dari pagi hingga siang hanya untuk mendapat layanan cek darah. Pasien itu harus menunggu lagi dari siang hingga malam hari di ruang tunggu yang padat dan sumpek untuk menunggu mendapatkan ruangan rawat inap,” ucapnya.

Ada lagi, kata Abyadi, menjelang lebaran kemarin, petugas di rumah sakit pemerintah meminta pasien untuk pulang setelah sebelumnya menjalani rawat inap.

Padahal, kondisi pasien belum sembuh. Kasus serupa di sebuah rumah sakit di Tebingtinggi juga pernah dilaporkan ke Ombudsman. Meski kondisinya belum sehat, tapi disuruh pulang setelah beberapa hari rawat inap.

“Beberapa kasus itu sempat jadi perhatian kita karena kondisi yang belum stabil tapi harus pulang dan dirawat di rumah. Bahkan, ada pasien yang akhirnya meninggal,” lirih Abyadi.

Kasus-kasus seperti ini membuktikan bahwa potret layanan kesehatan di Sumut terhadap pasien peserta JKN-KIS masih buruk. Seolah pasien BPJS Kesehatan itu tidak bayar. Padahal, pasien peserta program JKN-KIS itu bukan gratis.

“Untuk BPJS Kesehatan sendiri juga masih banyak dikeluhkan masyarakat. Itu terkait kurangnya informasi mengenai layanan BPJS, adanya perbedaan pelayanan bagi peserta BPJS dengan pasien umum di Faskes, kualitas obat BPJS Kesehatan dipertanyakan masyarakat, jangka waktu rawat bagi peserta BPJS juga dianggap kurang jelas, karena ada pasien yang sudah disuruh pulang meski belum sembuh,” papar Abyadi.

Masyarakat sebagai peserta JKN-KIS, lanjut Abyadi, tentu sangat mengharapkan FKRTL baik di Sumut maupun Aceh, dapat memberikan layanan kesehatan sebagaimana diamanahkan dalam UU No 36 tahun 2019 tentang Kesehatan, yakni layanan kesehatan yang efisien, terjangkau dan merata, bermutu dan aman.

FKRTL juga harus menerapkan nilai-nilai prilaku pelaksanaan layanan publik sesuai pasal 34 UU No 25 tahun 2009, dimana layanan kesehatan harus adil dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas, integritas, moralitas, kejujuran, cermat, profesional, taat azas/norma dan tidak menyimpang dari prosedur.

Dan untuk menjaga kualitas layanan kepada masyarakat, Abyadi Siregar menyatakan BPJS Kesehatan harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap unit-unit layanan kesehatan (FKRTL) yang menjadi mitra kerjasama.

“BPJS Kesehatan harus berani dan tegas jika menemukan ada FKRTL yang menyimpang dan diskriminatif terhadap pasien JKN-KIS. Harus ada teguran atau bahkan pemutusan hubungan kerjasama bila pelanggraan yang dilakukan cukup parah,” anjurnya.

Karena masih buruknya layanan kesehatan di Sumut, banyak pasien yang berasal dari kalangan mampu akhirnya lebih memilih untuk berobat ke luar negeri, seperti Malaysia maupun Singapura.

Data dari Malaysia Healthcare Travel Council (MHTC), setidaknya ada sekitar 670 ribu orang Indonesia yang berobat ke rumah sakit-rumah sakit di Malaysia di tahun 2018. Kebanyakan dari Medan, Surabaya dan Jakarta.

Sementara, Informasi dari Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Kota Medan beberapa waktu lalu menyebutkan, ada sekitar 300.000 warga Sumut berobat ke Penang, Malaysia.

Apabila tiap orang membawa Rp 25 juta ke Penang, maka ada Rp 7,5 triliun uang warga Sumut pindah ke Malaysia.

Lantas kenapa banyak warga Sumut berobat ke LN? ‘Salah satu jawaban yang paling logis adalah karena kualitas layanan kesehatan di daerah ini yang belum baik,” tutup Abyadi Siregar. (JNS-BTM)