Begini Tanggapan Warga Mengenai Komitmen PT INALUM di Kawasan Danau Toba

TOBA – Pabrik raksasa peleburan aluminium PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau INALUM berkantor pusat di Kuala Tanjung Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut) menjadi sorotan publik, Rabu (4/5/2022).

Seperti diketahui, Sabtu (30/4/2022) lalu, PT Inalum mengeluarkan press release berjudul “INALUM Tegaskan Komitmen Dukungan Terhadap Green Economy Indonesia dan Pelestarian Kawasan Strategis Nasional Danau Toba”.

Sejatinya, press release tersebut tentu untuk menjawab tudingan dari warga Toba yang diunggah di sosial media facebook oleh akun James Trafo. Alhasil, postingan itu pun tayang dalam pemberitaan awak media.

Tudingan itu dialamatkan kepada PT Inalum yang memiliki bendungan tangga berbentuk busur di kawasan Danau Toba.

Baca juga : INALUM Komitmen Dukung Green Economy Indonesia dan Pelestarian Kawasan Strategis Nasional Danau Toba

Menanggapi keterangan resmi PT Inalum tersebut, pegiat sosial media facebook atau warganet sekaligus warga Toba, James Sitorus alias James Trafo mengatakan, jika sejak tahun 2014 hingga 2021 PT Inalum telah mengalokasikan anggaran dana CSR senilai Rp 190 milliar di Sumatera Utara, berarti ada sekitar Rp 86 Milliar dana CSR disalurkan ke tujuh Kabupaten di wilayah Kawasan Danau Toba.

Kalau demikian, kata James, ke tujuh Kabupaten di kawasan Danau Toba selama kurun waktu delapan tahun memperoleh dana CSR dari PT Inalum rata-rata sekitar Rp 1,5 milliar setiap tahunnya per Kabupaten.

“Jika PT Inalum sejak Tahun Anggaran 2014 hingga 2021 mengalokasikan Rp 190 milliar dana CSR di Sumatera Utara, sekitar Rp 86 Milliar disalurkan kepada 7 Kabupaten di Wilayah Kawasan Danau Toba. Jika demikian, dana CSR pada kurun waktu selama 8 tahun, maka ketujuh Kabupaten di kawasan Danau Toba mendapatkan rata-rata dana CSR dari PT Inalum sekitar Rp1,5 Milliar setiap tahunnya untuk satu Kabupaten,” ujar James Sitorus via telepon WhatsApp, Rabu (4/5/2022).

Lebih lanjut, kata James, sangat miris lantaran tidak sebanding bila masyarakat Toba kembali mendapatkan seperti yang pernah tercatat dalam Master Agreement Dana Kompensasi berupa Listrik 2 Mega Watt, Nota kesepahaman Dana Environmental Fund, Dana Development dan Dana Anuual Fee.

Ditegaskannya, sebaliknya dana CSR sebesar Rp 104 Milliar dialokasikan oleh perusahaan yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik (4 X 71,5 MW & 4 X 79,2 MW) dan Pabrik Peleburan Aluminium dengan kapasitas produksi 250.000 Ton/tahun digelontorkan di luar kawasan Danau Toba.

“Dana CSR seakan-akan hanya diprioritaskan pada kawasan Smelter Plant PT Inalum,” tegasnya.

Tidak hanya itu, ketika Konsorsium NAA pemilik saham mayoritas PT. Indonesia Asahan Aluminium mempunyai 4 kewajiban terhadap warga Toba, yakni : 1. Annual Fee (Tahun 1976), 2. Listrik 2 Mega Watt (Tahun 1981), 3. Environmental Fund (Tahun 1999) dan 4. CSR (Tahun 2007).

Sementara itu, paska SK Presiden Nomor 5 tahun 1976, dan terbitnya Perpres Nomor 26 tahun 2014 serta regulasi-regulasi BUMN paska take over 2013, masih pantaskah masyarakat Toba mendapatkan kesejahteraan dan pengembangan setara dengan nilai keempat tersebut, atau 50% dari yang pernah ada?.

“Hal ini masyarakat Toba memohon perhatian serius dari PT Inalum (persero),” pintanya tegas.

Baca juga: Warga Toba Tuding PT Inalum Gelapkan Dana Lingkungan Rp 772 Miliar

Ditambahkan, inilah tragedi pembangunan Indonesia yang menyedihkan karena sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’.

“Sementara, bumi dan air sungai Toba-Asahan serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh PT Inalum yang didominasi perusahaan Konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) dan BUMN,” cetusnya.

Bahkan, lanjutnya, kekayaan bumi dan air dipergunakan sebesar-besarnya oleh perusahaan Jepang dan para oligarki. Oleh karena itu anak Bangsa Indonesia tidak perlu lagi memikirkan kepentingan
rakyat Toba.

Terpisah, Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Toba, Parulian Siregar, ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut mengatakan, untuk saat ini belum bisa memberikan tanggapan.
“Sementara hal ini tunggu kami bicarakan dulu dengan pak Bupati Toba. Nantilah, sebab situasi sekarang masih libur lebaran Idul Fitri,” kata Parulian Siregar, Kamis (5/5/2022) dilansir dari metro-online.co.

Sebelumnya, unggahan status facebook akun James Trafo, Selasa (26/4/2022) lalu, dalam narasi ditulis ‘PT Inalum bersukaria karena Danau Toba surplus sumber energi hidro, namun setorannya berupa ‘Enviromental Fund’ untuk warga Toba tak jelas/macet’.

Dalam unggahannya menyebut, seharusnya Dana Lingkungan PT Inalum senilai kurang lebih Rp 772 miliar mestinya diberikan kepada warga Kabupaten Toba.

Bahkan, diluar dana lingkungan, ia juga mempertanyakan ‘Annual Fee’ atau dana tahunan yang bersumber dan diperoleh masyarakat sebagai dana bagi hasil dari pajak permukaan air.

Menurutnya, dana lingkungan bersumber dari premi penjualan aluminium dalam negeri (porsi Indonesia). Sementara dana itu diduga diperuntukkan bagi kegiatan konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar proyek Asahan.

Selain itu, pencairan dana tersebut alurnya adalah dari PT Inalum ditransfer ke Lembaga, kemudian disalurkan kepada masyarakat sekitar Danau Toba dan WS T-A, hal ini seperti termaktub perjanjian induk dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 tahun 2018.

Tapi, diduga kesepahaman melenceng dan menuai masalah yang disebabkan oleh PT Inalum dan Otorita Asahan yang tidak mematuhi kesepahaman tersebut. Sehingga, terhitung sejak tahun 1999 hingga 2012 dan tahun 2013 hingga 2022 ditemukan banyak persoalan maupun kejanggalan dana lingkungan yang tertunggak ditaksir mencapai Rp 772 miliar.

Dilain sisi, diperoleh informasi bahwa Otorita Asahan rupanya sudah bubar dan tidak berfungsi lagi sejak PT Inalum menjadi perusahaan BUMN tahun 2013.

“Mandat yang diamanatkan oleh Pemerintah RI terhadap PT Inalum untuk mentransformasi kekayaan Sumber Daya Alam Danau Toba menjadi elemen kemakmuran dan pengembangan kehidupan serasa masih minin ditengah-tengah warga sekitar PLTA (Toba). Pertanyaannya, apakah mandat itu dikhususkan buat jajaran Direktur perseroan dan konconya?,” tulis James Trafo.

Lebih lanjut, James menyebut PT Inalum hanya mencairkan dana recehan berupa Corporate Social Responsibility (CSR). Padahal, perusahaan ini seharusnya membayarkan ‘Annual Fee’ kepada masyarakat.

Namun, sejak perusahaan itu di nasionalisasi menjadi perseroan tahun 2013, sistem penyetoran dananya sudah diutak-atik dan semakin tak jelas.

“Setoran Excess Power Listrik 2 Mega Watt (MW) yang dikonversi ke rupiah, adalah juga merupakan hak warga Porsea dan Balige. Tetapi dana itu menjadi tak jelas dikemanakan oleh PT Inalum, demikian juga Dana Lingkungan sejak tahun 1999 tak jelas dikemanakan perusahaan,” pungkas pentolan GTA54 yang sangat getol menuntut dana Comunity Development (CD) PT TPL itu.

Sementara itu, hasil audit BPK RI bekerjasama dengan Tim Investigasi (Pansus) bulan Februari tahun 2013, ditemukan, bahwa dana lingkungan PT Inalum sempat mengendap dalam beberapa rekening pribadi, dan oknum yang ia sebut sebagai bagian dari kapitalis/oligarki. Namun, setelah adanya temuan atas ketidak transparanan pencairannya, dana itu kemudian diblokir oleh Kejaksaan Agung RI.

James menerangkan, seharusnya alur pencairan dana lingkungan, sebelum sampai ke masyarakat, dana itu mestinya sesuai dengan nota kesepahaman, dananya harus disimpan di Bank tertentu, selanjutnya dipindahkan ke rekening lembaga yang diberikan hak penuh mengelolah dana lingkungan. (JNS-Red)